Bumi, Riwayatmu Kini Dalam Perubahan Iklim
Dalam kurun waktu beberapa tahun ini, tampaknya bumi sedang disibukkan dengan agenda perubahan iklim yang membuat sendok lebih panas. Anomali cuaca, kekeringan, hingga mencairnya gletser di bagian kutub yang menyebabkan naiknya permukaan air laut semuanya terangkum jelas dalam linimasa bumi yang pasti semua orang dapat mengetahuinya.
Beberapa kesempatan belakangan ini contohnya, laman-laman pro lingkungan seperti Greenpeace tak henti-hentinya menyiarkan berita tentang perubahan cuaca yang semakin ekstrem melanda seluruh bagian Indonesia. Hal ini berimplikasi mengenai bencana alam yang datang dan pergi menghampiri beberapa bagian bumi Indonesia. Salah satunya adalah banjir.
Jakarta dan Kalimantan adalah salah satu dari sekian banyak wilayah di Indonesia yang menderita kerugian besar akibat bencana ini pada awal tahun lalu. Berbagai spekulasi dari berbagai pihak dilontarkan guna mencoba menjelaskan penyebab utama banjir tersebut.
Dari mulai hujan, alih lahan, hingga kerawanan daerah yang tinggi terhadap banjir. Sialnya, bencana ini dimanfaatkan oleh oknum untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu sebagai lawan politik guna menggiring opini publik dalam menambah daftar kebijakan yang dianggap gagal.
Musibah banjir pada kurun waktu yang bisa dikatakan sebagai permulaan tahun ini barangkali masih menjadi secuil dari rentetan bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang semakin ganas membabi buta. Jika kita melihat dari kajian teori, sebenarnya ada banyak cara kita menyikapi permasalahan perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global tersebut.
Saya akan menggunakan perspektif teori kritis, karena teori ini menjelaskan bagaimana IPTEK dapat menjadi salah satu penyebab bencana massal yang dapat terjadi di kemudian hari. Untuk itu, mari kita mundur sejenak pada masa revolusi industri. Secara ekonomi, revolusi industri tentunya memiliki dampak positif karena harga barang akan lebih murah, pekerjaan terasa ringan karena dibantu oleh peralatan mesin. Pun produktifitas dan efektivitas industri dan perdagangan akan lebih tinggi.
Namun di sisi lain revolusi secara besar-besaran ini memiliki dampak negatif pada lingkungan dengan semakin banyak pabrik, semakin tinggi pula pencemaran yang ditimbulkan dan tingkat polusi pun semakin meningkat. Di saat yang sama pula, kebutuhan pada energi menimbulkan eksploitasi besar-besaran pada alam.
Contohnya saat ini ketika perkembangan penduduk berkembang pesat, batu bara dijadikan sumber energi karena dianggap sebagai bahan baku yang murah walaupun tidak terbarukan. Hal inilah yang lambat laun menyebabkan bumi mengalami istilah "efek rumah kaca" yang kita kenal selama ini. Maka dari itu, dapat saya simpulkan bahwa pemanasan global adalah bencana di depan mata.
Tercatat sejak lima puluh tahun terakhir, bocornya gas-gas rumah kaca ke atmosfer seperti metana, nitro oksida, dan gas rumah kaca yang lain telah meningkat pesat. Saya mengambil data dari Godish (2004), sejak akhir abad sembilan belas, rata-rata temperatur bumi meningkat sekitar satu derajat Farenheit.
Selain itu, suhu laut dan daratan pada tahun 2000 adalah sebesar 0,29 derajat Celcius. Sedangkan menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (dalam Ammann, Caspar, et al. (2007), peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C antara tahun 1990 dan 2100.
Dengan menggunakan metode model iklim, perbedaan angka pada berbagai prediksi menegnai persoalan iklim dapat disebabkan oleh penggunaan narasi-narasi berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda.
Apabila kenaikan temperatur global terjadi, maka tinggi permukaan akan naik akibat gletser-gletser dari bagian kutub yang mencair. Kenaikan permukaan air laut ini berdampak langsung pada garis pantai dan dapat membuat pulau atau daratan kecil akan tenggelam secara perlahan.
Beberapa hal kini yang masih diragukan para ilmuan diantaranya mengenai seberapa besar jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain.
Sampai saat ini pun kita semua mengetahui bahwa masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, bagaimana, hingga tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi yang ada.
Pada penutup ini, saya sampaikan bahwa perubahan iklim yang terjadi di Indonesia bahkan dunia beberapa tahun sampai yang terjadi belakangan ini bukan tanpa alasan.
Mengingat manusia adalah makhluk yang berdampingan dengan alam, seyogyanya kita sebagai makhluk yang tinggal di dalamnya dapat merawat dan memelihara kelestarian alam tersebut dengan aksi nyata yakni dengan menggunakan energi terbarukan, menghemat listrik, hingga pelestarian hutan sebagai penghasil oksigen secara alami yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Walaupun dampak yang dihasilkan begitu nyata besarnya, sayangnya isu mengenai perubahan iklim ini saya rasa kurang begitu diekspos oleh sebagian media khususnya untuk ditayangkan di televisi. Maka dari itu, tak ada salahnya jika kita mengawal isu perubahan lingkungan ini dengan ikut berpartisipasi di masyarakat dengan terlibat dalam setiap agenda lingkungan yang ada.
Bagaimana menurutmu? Mari berdiskusi.
Referensi
Ammann, Caspar, et al. (2007). "Solar influence on climate during the past millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate Simulation Model". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 104 (10): 3713-3718.
Godish, T. 2004. Air Quality, Lewish Publisher, A CRC Press Company, London