Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ruminasi, Senjata Pembunuh Kebahagiaan


Pernah ga sih kalian merasa seperti terjebak, terus aja mikirin suatu hal yang negatif berulang-ulang tanpa mikirin pemecahan masalahnya karena kalian merasa tidak mampu, terpenjara dalam pikiran kalian sendiri, tidak berdaya, dan tidak bisa mengontrol masalah kalian? Nah, ini salah satu overthinking yang disebut "Ruminasi" lho.
Ruminasi ini bisa membuat orang-orang merasa bahwa dirinya buruk dan mengakibatkan kelelahan secara emosional. 

Manusia memiliki dua kinerja untuk berpikir dalam otak. Dua kinerja tersebut ialah otak rasional dan otak emosional. Otak rasional digunakan untuk mengatur pemecahan masalah dan proses berpikir. Kalo otak emosional (diwakili oleh sistem limbik) digunakan untuk menghasilkan motivasi, emosi, dll. Apa keduanya bisa selaras? Iya tentu bisa, bahkan bisa saling mendominasi.

Namun, seringkali manusia itu berpikir secara berlebihan. Nah, hal inilah yang dinamakan Overthinking. Overthinking seringkali memunculkan pikiran atau bayangan negatif dan irasional atas masalah yang pernah dialami, dan itu terjadi secara berulang. Pemikiran negatif dan irasional ini ternyata diakibatkan oleh bagian kerja otak emosional yang terus mendominasi secara berulang-ulang.

Pikiran-pikiran negatif dan irasional ini muncul dari Amigdala. Amigdala adalah salah satu bagian dari otak emosional yang berperan untuk menyimpan kenangan. Termasuk kenangan yang pahit seperti rasa bersalah atau sakit karena seseorang dimasa lalu. Amigdala nantinya yang akan mengolah kenangan itu menjadi rasa cemas dan overthinking.

Menurut penjelasan dari Susan Nolen-Hoeksma, seorang peneliti asal Yale University, ia berkata bahwa ruminasi ini terdiri dari tiga tahapan -- berdasarkan teori Response Styles Theory yang tercantum dalam risetnya yang berjudul “Rethinking Rumination.”

Pertama, ruminasi membuat seseorang terus-menerus dan berulang-ulang memikirkan masa lalu yang menyakitkan sehingga memicu perasaan tertekan, cemas, dll. Kedua, ruminasi ini bisa menghalangi kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah secara efektif, sehingga ruminator ini seringkali berpikir pesimistis dan fatalistis. Ketiga, ruminasi akan mengganggu perilaku seseorang hingga ke tahapan depresif.

Ruminasi membuat penderitanya (ruminator) cenderung sering sekali menyalahkan orang lain, dan juga menganggap orang lain membenci dan mengabaikan dirinya. Luapan kemarahan dialami oleh penderita ruminasi ini seringkali mengeluarkan pertanyaan seperti: “Kenapa ya dia tidak ngajak aku ngobrol?” atau “Kok kalian ngomongin aku di belakang?” Ini adalah pernyataan yang bersifat magnifikasi, karena ruminator berusaha untuk memikirkan hal-hal yang irasional dan negatif sampai akhirnya terdapat kesimpulan bahwa “orang lain menganggap dia tidak berharga dan tidak penting dimata mereka”.

Ruminator juga seringkali menjadikan kepuasan orang lain itu penting atas apa yang telah dilakukan oleh dirinya. “Jika orang lain merasa puas atas apa yang aku lakukan, maka mereka tidak akan mengabaikan aku” kurang lebih begitu jalan pikir ruminator. Ruminator kerap kali berusaha untuk membuat orang lain bahagia dengan tindakan yang dilakukannya.

Padahal, ruminator ini pasti terus merasa capek karena ia melakukan tindakan yang tidak murni dari hati, hanya untuk mendapatkan kepuasan dan kesan dari orang lain. Ketidakpercayaan terhadap diri sendiri menjadi salah satu penyebab terbesar seseorang mengalami ruminasi. Tindakan itu terjadi karena ketergantungan terhadap penilaian dan perlakuan orang lain dan pengidapnya ini merasa cemas akan hal tersebut.

Referensi :

Salsabila, Alya. 2020. "Ruminasi: Terjebak Memikirkan Masalah Tanpa Menemukan Solusi Berarti". Diakses dari https;//alpas,id/ruminasi-terjebak-memikirkan-masalah/. Pada tanggal 18 Juni 2021.

Suryana, Muhammad Rizky. 2020. "Ruminasi, Senjata Pembunuh Kebahagiaan". Diakses dari https;//didaktikaunj,com/2020/01/31/ruminasi-senjata-pembunuh-kebahagiaan/. Pada tanggal 18 juni 2021.

Yuk gabung group kami di aplikasi telegram
https://t.me/joblokernet