Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengenang kisah heroik pendaratan Garuda di Bengawan Solo 19 tahun lalu


Duka mendalam masih menyelimuti dunia penerbangan di Tanah Air atas peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ182 di dekat kepulauan Seribu, Sabtu, 9 Januari 2021. Hingga kini, Basarnas masih melakukan pencarian terhadap puing pesawat dan korban di dalam laut.

Kisah percobaan pendaratan pesawat di air jarang ada yang berhasil, seperti yang dialami Sriwijaya dan beberapa maskapai lainnya. Dalam sejarah penerbangan komersil dunia, hanya tercatat dua kejadian yang berujung bahagia. Pertama, pendaratan darurat pesawat US Airways 1549 di Sungai Hudson, Amerika Serikat, pada 15 Januari 2009. Kedua, pendaratan Garuda Indonesia GA421 pada 16 Januari 2002 di Sungai Bengawan Solo. Namun, kali ini penulis hanya membahas pendaratan Garuda yang sangat heroik.

Garuda Indonesia Penerbangan GA421 adalah penerbangan domestik berjadwal yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang menempuh jarak sekitar 625 km (388 mi; 337 nmi) dari Mataram ke Yogyakarta. Pada tanggal 16 Januari 2002, terjadi kecelakaan yang menyebabkan pesawat ini melakukan pendaratan darurat. Akibat insiden ini, seorang pramugari bernama Santi Anggraeni tewas karena tersedot keluar pesawat yang disebabkan terbukanya pintu darurat dan 12 penumpang lainnya terluka.

Pesawat yang dipakai dalam penerbangan ini adalah Boeing 737-3Q8, dengan kode registrasi PK-GWA. Pesawat ini dibuat pada tahun 1988 dan dikirim pada tahun 1989. Pesawat tersebut adalah pesawat Boeing 737 pertama yang diterbangkan oleh Garuda Indonesia. Saat kejadian, pesawat ini diterbangkan oleh Kapten Abdul Rozaq (44) dan kopilot Harry Gunawan (46).

GA421 dijadwalkan terbang dari Selaparang, Mataram, pada pukul 15.00 WITA. Pesawat B737-300 registrasi PK-GWA yang dipiloti oleh Kapten Abdul Rozak itu kemudian menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki. Pesawat dijadwalkan tiba di Yogyakarta sekitar pukul 17.30 WIB. Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten penerbangan memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, atas izin ATC. Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir. Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.

Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust). Pilot dan kopilot pun saat itu mencoba untuk menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) untuk membantu menyalakan mesin utama, tetapi tidak berhasil.

Penyelidikan yang dilakukan menyebut bahwa kru kokpit mencoba menyalakan mesin dengan interval setiap satu menit. Manual B737 yang dikeluarkan Boeing menyebut APU mesti dinyalakan dalam interval 3 menit sekali. Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana. Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap).

Pesawat Garuda pun berhasil mendarat di sungai Bengawan Solo, yang cukup dangkal. 
Saksi mata kebanyakan para pemancing ataupun warga yang sedang beraktivitas di sungai. Umar Sahid (51) yang saat itu menjadi Ketua RW 04, menceritakan tak banyak warga setempat yang melihat langsung proses pendaratan darurat Garuda Indonesia sore itu, sekitar pukul 16.00 WIB.
"Ada suara gemuruh, tapi kok di bawah. Saya lihat banyak orang lari ke sungai, katanya pesawat jatuh. Saya nggak percaya, tapi ternyata benar" kata Umar saat dijumpai di rumahnya yang hanya 50 meter dari lokasi kejadian, Jumat (15/1/2021). 
Menurutnya, pesawat kebetulan mendarat di tempat yang tepat di daerah dangkal. Sehingga warga mudah dalam mengevakuasi penumpang.
"Itu kalau mendarat 100 meter ke utara atau 100 meter ke barat atau agak ke timur mungkin tenggelam. Saya pas datang, penumpang itu sudah di sayap, takut mau turun, nggak tahu kalau dangkal". 
Umar mengatakan kondisi bagian dalam pesawat terlihat baik-baik saja, meskipun ekor pesawat hilang karena sempat terbentur sesuatu. Barang-barang penumpang masih berada di tempatnya.

Mengetahui kecelakaan itu, Umar mengaku teringat pengalaman mengevakuasi kecelakaan kereta api di Sragen. Saat itu banyak warga yang tidak menolong, namun malah mengambil barang-barang penumpang.
"Dari pengalaman itu saya tidak mau itu terjadi. Saya dan Pak RT langsung mengamankan penumpang dan barang-barangnya ke sini (rumahnya). Semua barang masuk kamar, tidak boleh ada yang ambil sampai polisi datang. Alhamdulillah tidak ada yang hilang"
Situasi sore yang mendung itu terasa sangat panik. Banyak penumpang menangis. Kapten Abdul Rozaq yang merupakan pilot pesawat terlihat mondar-mandir menelepon seseorang.
"Suasana tidak karuan. Waktu itu telepon masih pakai kabel, jarang yang punya handphone. Itu kami telepon ke mana-mana nggak ada yang percaya ada pesawat jatuh di sungai, akhirnya kita bawa penumpang ke RS dr Oen naik pikap, warga punyanya pikap"
Dari kejadian ini, kita bisa memetik hikmahnya, bahwa seburuk-buruknya suatu kecelakaan, terdapat keajaiban atau mukjizat didalamnya. Kejadian ini merupakan suatu momen yang langka, 

Terima kasih Kapten Abdul Rozak dan kopilotnya yang telah menyelamatkan puluhan nyawa di dalam pesawat.

source : 
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3681306/kisah-2-pendaratan-pesawat-darurat-di-atas-air-yang-hebohkan-dunia
https://news.detik.com/berita/d-2807299/mensyukuri-hidup-kedua-pilot-dan-penumpang-ga421-kumpul-tiap-16-januari
https://www.airfleets.net/ficheapp/plane-b737-24403.htm
https://news.detik.com/berita/d-2807048/pilot-abdul-rozaq-mengenang-pramugari-yang-mangkat-saat-ga421-mendarat

Yuk gabung group kami di aplikasi telegram
https://t.me/joblokernet