Jamet Sebagai Subkultur Kelas Pekerja di Indonesia
Dekade 1960-an di Inggris, lahir dua subkultur anak muda yang membelah daratan Inggris yaitu Mods di selatan dan Rockers di utara. Mods dan rockers kala itu memengaruhi gaya hidup, fashion, hingga musik. Mods atau modern identik dengan pakaian modis dan tunggangan skuter seperti vespa, serta menggemari genre musik ska, soul, dan beat. Sebaliknya rockers identik dengan jaket kulit, celana jeans, dan sepatu boot. Soal musik rockers ini dipengaruhi musik-musik rock n roll pada masanya, soal pilihan motor berbeda dengan mods yang memilih skuter, rockers memilih tunggangan gahar atau bisa disebut motor lanang (laki).
Kedua subkultur ini lahir dari latar belakang yang sama, yaitu kaum pekerja. Kaum pekerja memang erat kaitanya dalam melahirkan sebuah gaya hidup. Meski dulu sering berantem, mereka sama-sama mewarnai kehidupan kawula muda di Inggris hingga menjamur menjadi gaya hidup populer di dunia, termasuk Indonesia. Keduanya selalu dipandang keren, meski lahir dari kelas pekerja. Bahkan para seleb yang selama ini kita anggap elit pun, tak sungkan mengadopsi style kedua subkultur ini.
Tetapi kita membicarakan masalah yang sama di daratan yang berbeda, yaitu di Indonesia. Sebenarnya subkultur yang lahir secara alami itu juga ada pada jamet. Jamet sendiri besar di kalangan anak muda serta kaum pekerja, bedanya kaum pekerja di sini kebanyakan adalah buruh lepas alias kuli.
Setahu saya, istilah jamet lahir dari akronim "Jawa metal" atau "jajal metal" yang identik untuk menyebut mas-mas demgan rambut gondrong ala metal, tetapi aslinya tidak menyukai musik metal. Atau dalam istilah Jawa dikenal pula dengan "gondes" alias gondrong ndeso. Pada perkembangannya, pemaknaan jamet dan gondes ini meluas dari sekadar gondrong apalagi mengarah ke satu suku tertentu seperti "Jawa". Hingga akhirnya lebih spesifik untuk menyebut suatu kaum yang memiliki latar belakang pekerjaan sebagai kuli dengan selera pakaian dan selera musik tertentu.
Misalnya untuk musik, Jamet sendiri menyukai beragam aliran musik yang goyang-able. Kebanyakan mereka menyukai musik yang enak buat nge-joget walaupun musik tersebut sebenarnya gaje. Seperti misalnya dangdut koplo sampai musik kayak remix ngoplo Ding Ding Pa Ding Ding yang sempat populer belakangan ini. Walau memiliki selera musik yang cenderung sama, tapi cenderung berbeda di beberapa daerah, karena mereka biasanya berkiblat pada musik-musik lokal saja. Musik yang lebih mudah untuk mereka jangkau.
Kemudian soal pilihan tunggangan, mereka selalu identik dengan motor-motor thai look. Alias motor modif dengan aksesoris penuh warna-warni, ban cacingan, hingga knalpot brong cenderung mengarah ke motor-motor semacam drag race. Secara spesifik, motor-motor seperti Kawasaki Ninja R sampai Suzuki Satria FU adalah motor yang sangat identik dengan mereka. Namun, kedua motor tersebut lebih cenderung pada motor idaman para jamet, karena pada realitanya motor-motor bebek hingga matic pun sebenarnya tak masalah. Satu-satunya masalah bagi jamet, kadang hal semacam ini malah dijadikan sebagai tolok ukur untuk menggaet lawan jenis. "Jangan bilang cinta kalau motormu bukan Ninja", atau "nggak Satria FU, maka nggak love U"
Soal pakaian, mereka identik dengan celana jeans ketat, lalu kaos oversize alias kegedean, dan kadang identik dengan hoodie atau jaket denim, tergantung gelombang apa yang sedang tren. Aksesori pun beragam, kadang identik dengan topi trucker dan semacamnya. Perihal gaya rambut juga bervariasi dari rambut ala Uchiha Sasuke, sampai rambut dengan warna-warna aneh yang tidak sinkron dengan muka.
Untuk kegiatan aktifitas selepas lelah menguli, selain memadati beragam gigs musik sesuai selera di atas, mereka juga agaknya sering melakukan acara kopdar. Malam minggu adalah waktu yang tepat untuk menjadikan jalanan kota ramai dengan eksistensi mereka. Pinggiran jalan adalah lahan yang paling sering mereka jajahi.
Ya, suka atau tidak, perlahan kita harus mengakui eksistensi jamet di Indonesia sebagai subkultur yang lahir dengan sendirinya sebagai gaya hidup kelas pekerja. Sayangnya, keberadaan jamet sering dianggap sebagai kaum terbelakang, media sosial adalah lahan empuk untuk menjadikan jamet sebagai bahan bullyan. Dan mungkin beberapa jamet pun enggan mengakui bahwa dirinya menganut paham jamet, karena sering dianggap sebagai kaum terbelakang. Walau sejatinya, starter pack mereka selalu sama.
Lantaran sejatinya kita tidak bisa memaksakan selera. Mereka akan keren versi standarisasi mereka sendiri, pun sebaliknya. Ada baiknya sampaikan kritik secara objektif bukan berdasar suka atau tidak suka, seperti suara knalpot brong yang mengganggu ketika memasuki pemukiman, atau pilihan mereka yang sering memilih membeli barang tiruan. Mereka hanya ingin bebas berekspresi sesuai daya mereka sebagai kaum pekerja.