Mimpi Vs Kebutuhan Hidup
Mungkin beberapa dari kita sudah pernah mengalami sebuah Krisis yang sangat amat membuat diri kita tidak nyaman, percayakah anda bahwa hal tersebut merupakan salah satu fase alami manusia yang mungkin tak dirasakan oleh makluk lain. Gak ada gitu kucing yang berpikir untuk apa dirinya hidup dan mau dibawa kemana hidupnya itu.
Saat kita kecil, mungkin kita menentukan hobi atau pekerjaan impian karena beberapa faktor yang kita temui dalam kehidupan, entah itu pengetahuan atau pengalaman, yang dikelola sedemikian rupa oleh diri kita sebagai manusia, untuk kemudian menghasilkan sebuah skenario dalam kepala kita tentang masa depan yang baik itu harus seperti apa, setiap mimpi dan cita-cita pasti memilki makna dan artinya tersendiri, entah hal tersebut bersifat kesenangan pribadi, atau tujuan yang lebih besar, seperti kesenangan orang banyak.
Namun seiring bertambahnya usia, kehidupan menawarkan sebuah kenyataan lain untuk kita dalam bentuk hal-hal yang kita temui, kembali lagi ke informasi dan pengalaman yang lagi-lagi membentuk kesadaran kita akan sebuah hal yang kiranya bisa atau tidak dilakukan kita sebagai manusia
Saat mimpi kita patah, atau saat kita memahami bahwa kenyataan menolak skenario yang telah kita bentuk dalam kepala kita, maka kita akan mencoba membentuk skenario baru dalam alam bawah sadar kita, akan sebuah jalan baru yang seharusnya kita lalui. Hal tersebut seharusnya menjadi sebuah hal yang alami, dan tidak ada yang salah dengan hal itu.
Lantas, di mana dong masalahnya? Sabar.., pernah gak sih kita perhatiin bahwa krisis tersebut kita temui di usia usia yang rata-rata hampir sama, seperti usia 20an. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabanya adalah, saat kita berada dalam usia saat itu, maka dalam waktu dekat kita akan menemukan sebuah usia dimana manusia itu akan dinilai gagal atau tidak dalam hidupnya. Mungkin sekitar usia 25 tahun ke atas, kita akan dinilai sebagai manusia seperti apa oleh lingkungan dan keluarga kita, memiliki masa depan yang seperti apa, cara masyarakat memandang kita seperti apa, hal tersebut seolah menjadi patokan pada usia 25 tahun ke atas.
Sekarang bayangkan sesorang yang berada di usia 20an diberi waktu sekitar 4 atau 5 tahun untuk mencari atau menemukan image dari eksistensinya tersebut di tengah masyarakat. Mungkin bagi mereka yang telah memantabkan diri untuk berkarir dalam bentuk apapun, akan merasa hal tersebut biasa saja, karena dirinya sudah memilih tempatnya untuk berjalan menuju usia 25 tahun tersebut, begitupun dengan mereka yang memfokuskan diri untuk menggapai mimpinya atau mengejar cita-citanya, tentu mereka akan fokus dengan jalan yang ia pilih untuk melanjutkan hidupnya akan seperti apa dan bagaiamana.
Namun lagi dan lagi timbul sebuah masalah baru, masalah tersebut adalah ketika seseorang ragu untuk memilih ke arah mana langkahnya harus berpijak. Salah satu faktor yang membuat keraguan itu terjadi adalah saat kita yang dalam satu sisi membutuhkan sebuah pemasukan untuk bertahan hidup, dan di sisi lain menginginkan mimpi atau cita-cita kita masih dapat terus berlanjut. Hal tersebut dapat melahirkan sebuah keadaan diamana seorang individu merasakan kecemasan yang amat besar, karena dirinya belum mengetahui ke arah mana dirinya akan melangkah, sedangkan di sisi lain sang waktu terus menekan dirinya, ditambah beberapa kebiasaan mayoritas masyrakat yang bertanya tentang privasi seseorang seperti “Kerja apa?” dan beberapa hal lain yang seharusnya tidak ditanyakan, namun justru sudah menjadi habbit atau kebiasaan umum yang terjadi di tengah masyarakat.
Kenyataan ironis lain adalah saat image dan eksistensi seorang manusia diukur bedasarkan keadaan dirinya pada usia-usia tertentu. Bahkan setelah hal tersebut dapat digapai oleh seseorang, baik dengan menggunakan hati dan cita citanya, atau menggunakan pikiran dan pengorbanannya, kita masih harus diukur lagi oleh sebuah hirarki tentang bagaimana masyarakat memandang kita sebagai seorang individu. Saya kasih sedikit contoh :
Si A berhasil berusaha di atas kakinya sendiri dengan berdagang Bakso secara keliling, Si B pun sama, bedanya dirinya berdagang Soto dan langsung memilki tempat yang mewah. Menurut anda, mana yang dipandang lebih tinggi derajatnya di hadapan masyarakat? Mungkin kita sudah sama-sama mengetahui jawabannya.
Catatan : Jika ada yang bilang “Tapi kan tergantung orangnya bagaimana, baik atau tidak dengan masyarakat”, sebenarnya itu sudah keluar dari konteks. Di sini kita tidak membahas sifat atau karakter, kita murni membahas pandangan masyarakat terhadap sebuah pencapaian seorang individu yang membentuk hirarki. Lagipula mungkin jika terdapat seseorang yang sifatnya buruk, namun dalam ranah pencapaian atau pekerjaan yang dimiliki sangat bergengsi bagi masyarakat, dirinya tetap masuk bagian atas dari skala kehormatan yang masyarakat bentuk dalam hirarkinya, itupun sebuah kenyataan yang ironis.
Oke mari kita tutup dengan sebuah pencarian akan jalan keluar dari masalah ini
1. Jangan takut
Jangan takut untuk memilih jalanmu sendiri. Apapun jalan yang kita pilih, yang terpenting adalah keyakinan dan pemahaman kita tentang sebab dan akibat pilihan kita tersebut, dan jika kita kiranya sudah siap dengan semua resiko dari pilihan kita tersebut, maka kita hanya harus berkerja keras untuk mewujudkan keinginan kita.
2. Dengarkan dan filter
Tak peduli apapun keputusan yang kita ambil dalam hidup, akan ada beberapa orang yang dengan sangat amat mudah menjudge atau menyalahkan kita akan keputusan yang kita ambil. Beberapa ucapan mungkin mengandung kebenaran sehingga kita tidak boleh menolak mentah-mentah apa yang orang lain katakan. Namun sering kali juga seseorang yang tidak tahu menahu dengan masalah atau kondisi yang kita hadapi, dengan mudahnya memberi sebuah saran yang sangat amat tidak masuk akal dan terkesan memaksakan pikiranya agar diterima oleh kita. Orang-orang seperti itu terkadang akan lebih baik jika kita filter terlebih dahulu, untuk kemudian mengambil sedikit hal hal positif yang mungkin masih dapat kita ambil.
3. Kita hidup bukan untuk menuruti apa kata masyarakat
Masyarakat yang memberi kita patokan-patokan tentang bagaimana sebaiknya kehidupan itu dijalani, sering kali merasa tidak suka jika kita membuat diri kita bebas atau keluar dari patokan patokan tersebut, mereka akan menganggap kita sebagai individu yang gagal dalam hidupnya, tanpa ingin mengerti lebih jauh tentang sebuah proses yang sedang kita jalani, oleh karena itu, kita harus dapat belajar bahwa kita hidup bukan untuk memuaskan pikiran masyarakat (dalam konteks kehidupan pribadi tentunya), dan hal tersebut bukan menandakan sebuah sifat egois, melainkan memberi warna tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat itu sendiri.
4. Jadikan orang lain sebagai motivasi, bukan patokan.
Kita sering gagal karena dirundung sebuah rasa kekecewaan saat kita melihat orang lain atau teman sebaya kita sudah dapat menentukan jalan hidupnya dan menjadi sukses dengan hal tersebut. Namun yang harus diperhatikan adalah, layaknya semua hal yang ada di dunia ini, kesuksesan pun subjektif. Oleh karena itu kita tak boleh terpaku oleh hal yang telah digapai oleh orang lain, kita justru dapat belajar dari orang tersebut dengan bagaimana cara orang tersebut memaknai kegagalan dan perjuangan, bukan berarti kita meniru, kita hanya mengambil ilmunya untuk kemudian kita modifikasi sedemikian rupa dan dikombinasikan dengan jalan kesuksesan versi diri kita sendiri.
5. Keluarga
Jika dalam ranah masyarakat kita masih bisa acuh tak acuh dengan apa yang mereka inginkan atas diri kita, semua menjadi berbeda jika masalah tersebut terbentur oleh keluarga, yang memiliki pola pikir yang sama seperti masyarakat. Sering kali keluarga khususnya orang tua menginginkan kehidupan anaknya sesuai dengan skenario yang telah terbentuk dalam kepalanya, dan dalam konteks ini, kita sebagai anak pun akan sering kali merasa sangat amat tertekan oleh hal tersebut. Mungkin satu satunya jalan untuk pendiktean yang dilakukan atas hidup anaknya adalah, bicara dari hati ke hati, bicara dengan penuh keyakinan bahwa kita bisa mentukan jalan hidup kita sendiri, tak perlu ada emosi yang memanas atau apapun, cukup sebuah obrolan ringan dan sebuah pembuktian kecil bahwa jalan yang kita tentukan ini benar.
Saya akan tutup dengan sedikit cerita tentang bagaimana saya keluar dari pendiktean keluarga ini. Beberapa tahun yang lalu, orang tua saya sangat amat keras menentang saya menulis, dan menginginkan saya untuk hidup layaknya teman-teman sebaya saya yang lain, yang bekerja, punya motor sendiri, nabung untuk nikah dan lain-lain. Saat saya coba pertama kali bicara bahwa saya ingin menjadi seorang penulis, mereka tetap dengan keras menolak, namun setelah saya berusaha membuktikan apa yang saya inginkann dengan beberapa kali memenangi perlombaan sastra Nasional, hati mereka perlahan lahan mulai luluh dan menerima diri saya sebagai seorang penulis, walalupun belum bisa memberi dampak yang nyata dalam segi ekonomi keluarga, setidaknya mereka memahami bahwa saya serius berada di jalan ini untuk masa depan saya.
Yah saya kira itu, kurang dan lebihnya saya mohon maaf, jika ada salah ketik atau typo, saya mohon maklum. Semua tulisan ini berasal dari naskah Youtube “Kausalitas Yang Hening”, jadi jika ada dari teman-teman yang tertarik bisa mampir ke chanel di atas, dan saya akan sangat berterima kasih dengan dukungan tersebut.
Sampai Jumpa
"Tak penting di umur berapa kau menemukan kesuksesan, yang terpenting kesuksesan tersebut membuatmu memahami bahwa kau memiliki umur. Dengan begitu kita tak akan lupa untuk menjalani definisi lain dari kesuksesan, yaitu menikmati hidup"- Kausalitas Yang Hening
Sumber : youtu,be/2jT6gAV4xeQ