Sekolah: Mendidik atau Mengajar?
"Sekolah itu hanya lembaga pengajaran bukan lembaga pendidikan"
Mungkin sebagian besar dari kita bingung perbedaan mendasar antara mengajar dan mendidik. Secara umum pendidikan bisa diartikan sebagai proses memanusiakan manusia atau menuntun anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Sementara pengajaran dapat diartikan sebagai proses pemberian ilmu pengetahuan.
Pendidikan juga dapat berarti proses pendewasaan seseorang, seperti asal katanya “Pedagogi” yang berarti membimbing anak dalam bahasa Yunani. Sehingga, pendidikan ini terlaksana di antara umur 7-21 tahun, tepat saat anak-anak memulai proses pendewasaan.
Lalu, apakah yang terjadi di sekolah merupakan proses pendidikan? Apa pantas sekolah dikatakan lembaga pendidikan?
Tidak, jika saya bisa katakan sekolah bukan merupakan lembaga pendidikan. Apa yang terjadi di dalamnya bukan sama sekali proses pendidikan. Apa yang dilakukan pengajar di sekolah jauh sekali dari nilai-nilai pendidikan.
Seringkali guru di sekolah hanya memberikan materi-materi pelajaran sedangkan murid bagaikan “Bank” yang tugasnya menampung pelajaran-pelajaran itu tanpa bertanya “Apa dan kenapa?”. Kegiatan seperti itu bukanlah proses pendidikan, sejatinya pendidikan adalah proses dua arah antara murid dan guru.
Seharusnya proses pendidikan terjadi dua arah antara murid dan guru sehingga murid tidak hanya pasif di kelas mendengar gurunya, namun juga berbicara dan bertanya. Terkadang yang terjadi adalah murid tidak bertanya karena memang sudah mengerti atau tidak mengerti sama sekali ditambah rasa malu untuk bertanya. Disinilah peran guru sebagai pendidik supaya menghadirkan dialog-dialog guna mengembangkan potensi murid. Sehingga murid tidak menelan mentah-mentah materi yang diberikan gurunya, namun mengolahnya dan memilihnya—murid berhak tidak setuju atas interpretasi gurunya.
Selanjutnya adalah sistem nilai yang behavioristik. Pernahkah kalian diperingati karena nilai yang kecil? Dan disanjung ketika mendapat nilai tinggi? Jujur saja, saya sangat membenci sistem behavioristik ini. Sistem seperti ini memaksa murid untuk terus mengejar nilai tinggi, karena jika tidak, mereka akan terkena “Sanksi”. Akibatnya akan muncul dibenak siswa bagaimana caranya mendapat nilai bagus walaupun dalam hal yang bukan merupakan potensinya. Jelas ini merupakan pengkerdilan potensi dan kreatifitas murid, karena pada akhirnya murid hanya mengikuti kemauan gurunya bukan kemauan dirinya.
Menurut, Ki Hadjar Dewantara murid memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam mengejar potensinya, tugas guru hanya sebagai penuntun agar murid tidak terjerumus ke dalam bahaya saat mengejar potensinya. Tentu pengawasan itu bukan berarti harus dengan sistem nilai behavioristik yang mengekang potensi dan keinginan siswa. Hasil dari pendidikan behavioristik ini adalah siswa akan terjebak dalam sistem yang bukan merupakan keinginannya.
Kedua hal diatas juga diperparah dengan perilaku sekolah yang hanya mementingkan kecerdasan kognitif dalam pembelajaran. Pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan kognitif saja merupakan pengkerdilan arti pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan haruslah mencakup ranah spiritual, budi pekerti, kebangsaan, dan kebudayaan yang berarti tidak melulu soal kecerdasan kognitif.
Dengan begini, saya meragukan eksistensi sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan karena yang terjadi di dalamnya hanya terdapat unsur-unsur pengajaran—transfer pengetahuan antar guru dan murid. Sekolah yang seharusnya memiliki visi memanusiakan manusia justru hanya memproduksi output siswa-siswa yang tidak paham potensinya dan memiliki sifat pragmatis.
"Pendidikan mengantar seseorang menyadari otentisitas eksistensi dirinya secara utuh sehingga ia mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain dan dapat mengatur dirinya sendiri" (hlm 92)Ki Hadjar Dewantara
Daftar Pustaka
Samho, Bartolomeus. 2013. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Tantangan dan Relevansi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius