Tan Malaka dalam Cinta dan Cita-cita
Sebagai seorang yang paling dicari di Indonesia, Tan menjalani hidup selalu berpindah-pindah dan sembunyi, bahkan pada masa orde baru sosok Tan Malaka dikaburkan dalam sejarah.
Setelah dibuang oleh Belanda pada tahun 1922 dan juga di buru oleh Inggris dan Amerika, Tan berpindah-pindah negara. Selama persinggahannya, ia menjalin dengan beberapa gadis di setiap negara yang ia singgah.
Ketika di Belanda, Tan sempat dekat dengan wanita bernama Fenny Struijvenberg. Menurut penulis biografi Tan Malaka, Harry Poeze, Fenny sempat dekat dengan Tan namun tak jelas mengenai hubungannya.
Lalu semasa ia tinggal di Manila, Filipina, ketika itu Tan menggunakan nama samaran Elias Fuentas dan menjalin dengan wanita Filipina yang kabarnya anak petinggi universitas disana, namun hubungannya kandas saat intelijen Amerika menangkapnya dan di deportasi dari Filipina.
Tan berpindah ke Tiongkok tepatnya di Sanghai, di sebuah desa kecil selama 3 tahun tepatnya dari 1929-1932. Ia pernah mengalami keadaan sakit dan tak punya uang, kabarnya dirawat oleh wanita Tiongkok, tak disebutkan hubungan mereka.
Dalam keadaan sulit, Tan menghubungi Alimin yang saat itu berada di Sanghai sebagai perwakilan Komintern di Asia. Alimin akhinya menugaskan Tan ke Burma (Myanmar). Namun, ketika Tan baru tiba di Hongkong, dia ditangkap oleh intelijen Inggris dan ditahan selama 2 bulan, setelah bebas ia menuju Xiamen.
Disana ia menggunakan nama Ong Soong Lee dan mendapat perlindungan di Tiongkok selatan. “Ia tiba di Xiamen, dan di sana berhasil mendirikan Foreign Languages School (Sekolah Bahasa-Bahasa Asing),” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.
Disana ia bertemu dengan gadis berumur 17 tahun berinisial "AP", gadis tersebut kerap menyambangi Tan untuk belajar bahasa Inggris, Tan juga kerap jadi tempat curhat gadis tersebut.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia akhirnya terang-terangan muncul di hadapan publik dan menemui kawan lamanya yaitu Ahmad Soebardjo. Dia jatuh cinta dengan keponakan Soebardjo yaitu Paramita Abdurrachman.
Dalam buku pertamanya berjudul Parlemen atau Soviet tahun 1921, ia menyebutkan ketidaksetujuan atas bentuk negara yang cenderung meniru barat, menurut Tan, Indonesia harusnya menjadi negara dengan sistem dewan pemerintahan.
Untuk mewujudkan impiannya, Tan mengimpikan revolusi dimulai dengan merangkul kaum pedagang dan petani lalu kemudian menghancurkan kapitalisme. Menurut Tan, meruntuhkan imperialisme untuk mencapai kemerdekaan adalah satu hal. Namun, merdeka 100 persen adalah ketika berhasil menghancurkan kapitalisme.
Menurut Harry Poeze, untuk memahami Tan adalah dengan membaca buku yang berjudul Madilog yaitu singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Ideologi. Harry Poeze menyebutkan buku tersebut tidak boleh terlewatkan untuk melihat pemikiran Tan Malaka terhadap Indonesia.
Akhir hidup Tan Malaka harus kalah oleh peluru atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian divisi IV Jawa Timur, 24 Februari 1949. Kesimpulan itu diambil setelah para peneliti mencocokkan DNA keponakan Tan dengan tulang belulang yang ditemukan di desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur.
Sosok Tan masih misteri, jejak hidupnya dikaburkan oleh orde baru. Hingga sekarang suara Tan Malaka masih keras dari dalam tanah.
Sumber :
Triyana, Bonnie. 2015.
Kisah Asmara Tan Malaka, Antara Petualangan dan Revolusi.
https://www,historia,id/amp/kultur/articles/kisah-asmara-tan-malaka-antara-petualangan-dan-revolusi-PzMGO. Diakses hari ini.
Sitompul, Martin. 2018.
Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi.
https://www,historia,id/amp/politik/articles/hikayat-tan-malaka-sang-buronan-abadi-DEe04. Diakses hari ini.
Setiawan, Andri. 2020.
Indonesia dalam Mimpi Tan Malaka.
https://www,historia,id/amp/politik/articles/indonesia-dalam-mimpi-tan-malaka-vXZj5. Diakses hari ini.